Selasa, 23 Desember 2014

Belajar dari Kjokkenmoddinger: Kita adalah Apa yang Kita Tinggalkan

Pemandangan tumpukan sampah, khususnya sampah plastik. Entah di TPA, di lingkungan sekitar, di sungai, bahkan di jalanan umum, kita dengan mudah dapat menemukan tumpukan sampah yang secara langsung menggambarkan potret kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.

Masyarakat dunia, utamanya di Indonesia, sangat terbiasa menggunakan plastik. Dimulai dari digunakan sebagai pembungkus makanan, sebagai kantong untuk membawa belanjaan, sebagai sampul buku, hingga diolah menjadi macam-macam benda lainnya seperti botol minuman, batang pulpen, sendok, tempat pensil, kursi, gayung, ember, mainan dan masih banyak lagi. Dari data yang dikumpulkan, dapat diketahui bahwa tiap harinya, penduduk bumi menggunakan 500 juta sampai 1 miliar kantong plastik dan jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah itu sangat fantastis dan juga sekaligus menunjukkan bahwa penduduk bumi sangat membutuhkan dan begitu tergantung dengan keberadaan plastik.

Dengan melihat kenyataan yang dipaparkan di atas, maka tidaklah lagi mengherankan bila pada akhirnya mudah sekali melihat tumpukan atau gunungan sampah plastik bekas pemakaian di lingkungan sekitar kita. Namun, yang menjadi masalah, apakah kita tahu apa saja bahaya yang ditimbulkan dari produksi dan penggunaan plastik yang berlebihan?



Sampah plastik yang dibuang baru akan hancur dalam waktu 200 - 400 tahun. Membakar sampah plastik dapat menyebabkan lepasnya zat-zat karsinogen ke udara yang kita hirup. Proses daur ulang sampah plastik tidak melalui sterilisasi. Pembuatan plastik menggunakan bahan pelembut, salah satunya bernama DEHA (di(2-ethylhexyl)adipate) yang dapat menyebabkan cacat pada janin. Plastik yang dibakar mengeluarkan asap toksik yang bila dihirup dapat mengakibatkan gangguan kesuburan. Kantong plastik juga penyebab banjir, karena menyumbat saluran-saluran air dan tanggul. Sejak proses produksi hingga tahap pembuangan, sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer. Bahan beracun yang digunakan dalam pembuatan bahan plastik dapat terurai dan masuk ke lingkungan ketika terkena air. Pembakaran plastik yang tidak sempurna, di bawah 800 derajat celcius, akan membentuk dioksin dan dioksin hasil pembakaran plastik ini dapat menimbulkan penyakit kanker, hepatitis, gangguan sistem saraf dan memicu depresi. Sampah plastik yang dibuang 1 tahun jumlahnya dapat mengitari bumi 4 kali. Sampah plastik di laut membunuh 100.000 mamalia dan 1 juta burung laut.
Kebanyakan orang tentunya tahu mengenai fakta-fakta tersebut, atau setidaknya tahu bahwa plastik yang digunakan mereka sehari-hari membutuhkan waktu yang lama untuk diuraikan tanah dan kini pertanyaannya adalah apakah perlu untuk menumpuk gunungan sampah plastik tersebut? Apakah membuang sampah plastik ke tong sampah, pinggir jalan, maupun sungai yang nantinya akan diangkut ke TPA untuk ditumpuk dan ditimbun sudah menyelesaikan masalah? Apakah ada cara untuk—minimal—mengurangi tumpukan sampah plastik itu?
Untuk menguraikan masalah lingkungan yang cukup pelik namun kerap kali dipandang sebelah mata ini, perlu pemahaman dan analisis problem solving yang cukup luas. Bagi kita yang mempelajari sejarah, mungkin untuk menguraikan masalah ini perlu dimulai dengan sebuah pertanyaan.
Apakah kita sudah tahu bahwa ‘tren’ menumpuk sampah itu sudah ada sejak zaman dahulu?



Dari dua gambar di atas, apakah yang terlintas dalam benak Anda?
            Tentunya bila melihat dari kacamata seorang sejarawan, melihat gambar di sebelah kiri tentunya pikiran kita akan langsung tertuju pada kjokkenmoddinger, atau dalam bahasa Indonesia berarti sampah dapur.
            Setelah melihat dua gambar di atas, mungkin muncul dalam benak kita apakah hubungan di antara dua gambar tersebut dengan penjelasan di awal mengenai sampah plastik? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita lihat persamaan dan perbedaan mendasar dari dua rangkaian gambar di atas.
            Pertama, kita bahas mengenai kjokkenmoddinger terlebih dahulu. Kjokkenmoddinger merupakan istilah dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur, dan modding berarti sampah. Jadi, seperti yang telah disebutkan di atas, dalam bahasa Indonesia, kjokkenmoddinger ini merupakan sampah dapur. Kjokkenmoddinger biasanya ditemukan di sisi pantai dengan tinggi sekitar tujuh meter. Di Indonesia sendiri, kjokkenmoddinger bisa ditemukan di sepanjang Pantai Sumatra. Kjokkenmoddinger biasanya ditemukan dalam bentuk tumpukan sampah dapur yang merupakan timbunan kulit kerang maupun siput. Kjokkenmoddinger diperkirakan merupakan sebuah peninggalan kebudayaan yang menjadi penanda masa mesolithikum di mana manusia purba yang sudah hidup semi-sedenter-lah yang membuatnya. Inilah gunungan sampah di masa lalu.
            Sementara itu, rangkaian gambar pertama yang kita sudah bahas di awal merupakan sebuah gambar dari tumpukan sampah yang biasa kita temui di sepanjang jalan dan hampir di seluruh daerah di Indonesia kita bisa menemukan tumpukan sampah ini. Mayoritas isi tumpukan sampah ini merupakan sampah plastik yang digunakan masyarakat sehari-hari. Tumpukan sampah plastik ini merupakan tumpukan sampah yang biasa dibuang oleh masyarakat setempat, entah di TPA yang sudah ditentukan, maupun di tempat lain, termasuk di pinggir jalan.
Dari dua pemaparan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa keduanya sama-sama tumpukan atau timbunan sampah dan sama-sama bisa ditemukan di Indonesia. Perbedaan di antara keduanya pun terlihat begitu jelas di mana kjokkenmoddinger merupakan sampah yang dibuat manusia purba yang hidup di zaman mesolithikum seperti homo wajakensis, homo soloensis dan lain-lain, sementara tumpukan sampah plastik kedua dibuat oleh ‘manusia yang benar-benar manusia’ atau biasa dikenal dengan homo sapiens. Selain itu, dari segi waktu, kjokkenmoddinger dibuat beberapa ribu tahun lalu, sementara sampah plastik kedua dibuat pada masa kini, bahkan boleh jadi setiap beberapa menit di Indonesia, tumpukan sampah plastik ini terus dibuat, ditimbun dan menggunung.
            Lalu, apakah yang menjadi hubungan antara kedua gambar di atas?
            Bagi kita yang mempelajari sejarah, tentunya akan mengenal kalimat ini; Historia Magistra Vitae, bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dari sejarah, entah dari setiap peristiwa maupun peninggalannya, kita dapat mengambil berbagai nilai yang membuat kita lebih bijak, history makes men more wise. Kita bisa dan harus bisa belajar dari sejarah. Termasuk untuk menjawab pertanyaan di atas, yaitu bagaimana mengurangi tumpukan sampah plastik? Sedikit jawaban bisa kita ambil dari peninggalan masa mesolithikum yang kita bahas, yaitu kjokkenmoddinger.
Pertama, mungkin membayangkan terlebih dahulu bagaimana kjokkenmoddinger terbentuk. Untuk mencoba membayangkan bagaimana sampah dapur atau kjokkenmoddinger terbentuk, mungkin kita perlu menggunakan imajinasi yang lebih banyak dibandingkan yang biasanya. Di sini, penulis mencoba membayangkan terbentuknya kjokkemoddinger dengan versinya sendiri.
Kjokkenmoddinger tentunya tidak dibuat pada satu hari satu malam. Untuk mencapai sebuah tumpukan sampah kerang dan cangkang siput setinggi tujuh meter tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak mungkin pula pembentukan gunungan sampah itu dilakukan atau disebabkan oleh seorang manusia. Bisa jadi, kjokkenmoddinger ini merupakan sampah bersama masyarakat zaman mesolithikum dari generasi ke generasi.
Kemudian bila kita menarik pola dari pembentukan kjokkenmoddinger ini untuk fenomena penumpukan sampah plastik, kita bisa menemukan kesamaan dimana keduanya merupakan sampah bersama yang ditimbun masyarakat. Maka, seperti apa yang terjadi pada kjokkenmoddinger di masa lalu, kita bisa melihat bahwa ada kesamaan kebiasaan menumpuk barang.
Lalu, apakah kita pernah membayangkan bila seribu tahun mendatang arkeolog di masa depan menemukan tumpukan sampah hasil masa kini dan mereka mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi yang tidak sayang kepada lingkungannya?
Bukankah pada dasarnya, kita adalah apa  yang kita tinggalkan?
Jadi, mau dipandang seperti apa diri kita ini?


0 comments:

Posting Komentar