Pemandangan tumpukan
sampah, khususnya sampah plastik. Entah di TPA, di lingkungan sekitar, di
sungai, bahkan di jalanan umum, kita dengan mudah dapat menemukan tumpukan
sampah yang secara langsung
menggambarkan potret kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Masyarakat dunia, utamanya di Indonesia, sangat terbiasa menggunakan plastik. Dimulai dari digunakan sebagai pembungkus makanan, sebagai kantong untuk membawa belanjaan, sebagai sampul buku, hingga diolah menjadi macam-macam benda lainnya seperti botol minuman, batang pulpen, sendok, tempat pensil, kursi, gayung, ember, mainan dan masih banyak lagi. Dari data yang dikumpulkan, dapat diketahui bahwa tiap harinya, penduduk bumi menggunakan 500 juta sampai 1 miliar kantong plastik dan jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah itu sangat fantastis dan juga sekaligus menunjukkan bahwa penduduk bumi sangat membutuhkan dan begitu tergantung dengan keberadaan plastik.
Dengan melihat kenyataan yang dipaparkan di atas, maka tidaklah lagi mengherankan bila pada akhirnya mudah sekali melihat tumpukan atau gunungan sampah plastik bekas pemakaian di lingkungan sekitar kita. Namun, yang menjadi masalah, apakah kita tahu apa saja bahaya yang ditimbulkan dari produksi dan penggunaan plastik yang berlebihan?
Masyarakat dunia, utamanya di Indonesia, sangat terbiasa menggunakan plastik. Dimulai dari digunakan sebagai pembungkus makanan, sebagai kantong untuk membawa belanjaan, sebagai sampul buku, hingga diolah menjadi macam-macam benda lainnya seperti botol minuman, batang pulpen, sendok, tempat pensil, kursi, gayung, ember, mainan dan masih banyak lagi. Dari data yang dikumpulkan, dapat diketahui bahwa tiap harinya, penduduk bumi menggunakan 500 juta sampai 1 miliar kantong plastik dan jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Jumlah itu sangat fantastis dan juga sekaligus menunjukkan bahwa penduduk bumi sangat membutuhkan dan begitu tergantung dengan keberadaan plastik.
Dengan melihat kenyataan yang dipaparkan di atas, maka tidaklah lagi mengherankan bila pada akhirnya mudah sekali melihat tumpukan atau gunungan sampah plastik bekas pemakaian di lingkungan sekitar kita. Namun, yang menjadi masalah, apakah kita tahu apa saja bahaya yang ditimbulkan dari produksi dan penggunaan plastik yang berlebihan?
Sampah plastik yang
dibuang baru akan hancur dalam waktu 200 - 400 tahun. Membakar sampah plastik
dapat menyebabkan lepasnya zat-zat karsinogen ke udara yang kita hirup. Proses
daur ulang sampah plastik tidak melalui sterilisasi. Pembuatan plastik
menggunakan bahan pelembut, salah satunya bernama DEHA
(di(2-ethylhexyl)adipate) yang dapat menyebabkan cacat pada janin. Plastik yang
dibakar mengeluarkan asap toksik yang bila dihirup dapat mengakibatkan gangguan
kesuburan. Kantong plastik juga penyebab banjir, karena menyumbat
saluran-saluran air dan tanggul. Sejak proses produksi hingga tahap pembuangan,
sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer. Bahan beracun yang
digunakan dalam pembuatan bahan plastik dapat terurai dan masuk ke lingkungan
ketika terkena air. Pembakaran plastik yang tidak sempurna, di bawah 800
derajat celcius, akan membentuk dioksin dan dioksin hasil pembakaran plastik
ini dapat menimbulkan penyakit kanker, hepatitis, gangguan sistem saraf dan
memicu depresi. Sampah plastik yang dibuang 1 tahun jumlahnya dapat
mengitari bumi 4 kali. Sampah plastik di laut membunuh 100.000 mamalia dan 1
juta burung laut.
Kebanyakan orang
tentunya tahu mengenai fakta-fakta tersebut, atau setidaknya tahu bahwa plastik
yang digunakan mereka sehari-hari membutuhkan waktu yang lama untuk diuraikan
tanah dan kini pertanyaannya adalah apakah perlu untuk menumpuk gunungan sampah
plastik tersebut? Apakah membuang sampah plastik ke tong sampah, pinggir jalan,
maupun sungai yang nantinya akan diangkut ke TPA untuk ditumpuk dan ditimbun
sudah menyelesaikan masalah? Apakah ada cara untuk—minimal—mengurangi tumpukan
sampah plastik itu?
Untuk menguraikan
masalah lingkungan yang cukup pelik namun kerap kali dipandang sebelah mata ini,
perlu pemahaman dan analisis problem
solving yang cukup luas. Bagi kita yang mempelajari sejarah, mungkin untuk
menguraikan masalah ini perlu dimulai dengan sebuah pertanyaan.
Apakah kita sudah tahu
bahwa ‘tren’ menumpuk sampah itu sudah ada sejak zaman dahulu?
Dari dua gambar di
atas, apakah yang terlintas dalam benak Anda?
Tentunya
bila melihat dari kacamata seorang sejarawan, melihat gambar di sebelah kiri
tentunya pikiran kita akan langsung tertuju pada kjokkenmoddinger, atau dalam bahasa Indonesia berarti sampah dapur.
Setelah
melihat dua gambar di atas, mungkin muncul dalam benak kita apakah hubungan di
antara dua gambar tersebut dengan penjelasan di awal mengenai sampah plastik?
Untuk menjawab hal tersebut, mari kita lihat persamaan dan perbedaan mendasar
dari dua rangkaian gambar di atas.
Pertama,
kita bahas mengenai kjokkenmoddinger
terlebih dahulu. Kjokkenmoddinger merupakan istilah dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur, dan modding berarti sampah. Jadi, seperti
yang telah disebutkan di atas, dalam bahasa Indonesia, kjokkenmoddinger ini merupakan sampah dapur. Kjokkenmoddinger biasanya ditemukan di sisi pantai dengan tinggi
sekitar tujuh meter. Di Indonesia sendiri, kjokkenmoddinger
bisa ditemukan di sepanjang Pantai Sumatra. Kjokkenmoddinger
biasanya ditemukan dalam bentuk tumpukan sampah dapur yang merupakan timbunan
kulit kerang maupun siput. Kjokkenmoddinger
diperkirakan merupakan sebuah peninggalan kebudayaan yang menjadi penanda masa
mesolithikum di mana manusia purba yang sudah hidup semi-sedenter-lah yang
membuatnya. Inilah gunungan sampah di masa lalu.
Sementara
itu, rangkaian gambar pertama yang kita sudah bahas di awal merupakan sebuah
gambar dari tumpukan sampah yang biasa kita temui di sepanjang jalan dan hampir
di seluruh daerah di Indonesia kita bisa menemukan tumpukan sampah ini.
Mayoritas isi tumpukan sampah ini merupakan sampah plastik yang digunakan
masyarakat sehari-hari. Tumpukan sampah plastik ini merupakan tumpukan sampah
yang biasa dibuang oleh masyarakat setempat, entah di TPA yang sudah
ditentukan, maupun di tempat lain, termasuk di pinggir jalan.
Dari dua pemaparan di
atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa keduanya sama-sama tumpukan atau
timbunan sampah dan sama-sama bisa ditemukan di Indonesia. Perbedaan di antara
keduanya pun terlihat begitu jelas di mana kjokkenmoddinger
merupakan sampah yang dibuat manusia purba yang hidup di zaman mesolithikum
seperti homo wajakensis, homo soloensis
dan lain-lain, sementara tumpukan sampah plastik kedua dibuat oleh ‘manusia
yang benar-benar manusia’ atau biasa dikenal dengan homo sapiens. Selain itu, dari segi waktu, kjokkenmoddinger dibuat
beberapa ribu tahun lalu, sementara sampah plastik kedua dibuat pada masa kini,
bahkan boleh jadi setiap beberapa menit di Indonesia, tumpukan sampah plastik
ini terus dibuat, ditimbun dan menggunung.
Lalu,
apakah yang menjadi hubungan antara kedua gambar di atas?
Bagi
kita yang mempelajari sejarah, tentunya akan mengenal kalimat ini; Historia
Magistra Vitae, bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dari sejarah, entah dari
setiap peristiwa maupun peninggalannya, kita dapat mengambil berbagai nilai
yang membuat kita lebih bijak, history
makes men more wise. Kita bisa dan harus bisa belajar dari sejarah. Termasuk
untuk menjawab pertanyaan di atas, yaitu bagaimana mengurangi tumpukan sampah
plastik? Sedikit jawaban bisa kita ambil dari peninggalan masa mesolithikum
yang kita bahas, yaitu kjokkenmoddinger.
Pertama, mungkin
membayangkan terlebih dahulu bagaimana kjokkenmoddinger
terbentuk. Untuk mencoba membayangkan bagaimana sampah dapur atau kjokkenmoddinger terbentuk, mungkin kita
perlu menggunakan imajinasi yang lebih banyak dibandingkan yang biasanya. Di
sini, penulis mencoba membayangkan terbentuknya kjokkemoddinger dengan versinya sendiri.
Kjokkenmoddinger
tentunya tidak dibuat pada satu hari satu malam. Untuk mencapai sebuah tumpukan
sampah kerang dan cangkang siput setinggi tujuh meter tentunya membutuhkan
waktu yang cukup lama. Tidak mungkin pula pembentukan gunungan sampah itu
dilakukan atau disebabkan oleh seorang manusia. Bisa jadi, kjokkenmoddinger ini merupakan sampah bersama masyarakat zaman
mesolithikum dari generasi ke generasi.
Kemudian bila kita
menarik pola dari pembentukan kjokkenmoddinger
ini untuk fenomena penumpukan sampah plastik, kita bisa menemukan kesamaan
dimana keduanya merupakan sampah bersama yang ditimbun masyarakat. Maka, seperti apa yang terjadi pada kjokkenmoddinger di masa lalu, kita bisa melihat bahwa ada kesamaan kebiasaan menumpuk barang.
Lalu, apakah kita pernah membayangkan bila seribu tahun mendatang arkeolog di masa depan menemukan tumpukan sampah hasil masa kini dan mereka mengatakan bahwa generasi ini adalah generasi yang tidak sayang kepada lingkungannya?
Bukankah pada dasarnya, kita adalah apa yang kita tinggalkan?
Jadi, mau dipandang seperti apa diri kita ini?